06 Mei, 2008

It's the Law, Stupid!

Walaupun kadang-kadang enak tinggal di sini, tapi ada juga yang bikin mangkel di sini: petugas yang sangat taat aturan!

Misalnya, waktu saya mau bikin SIM. Salah satu syarat bikin SIM adalah kita harus bayar asuransi (mobil+orang). Nah, waktu saya mbayar asuransi--tentunya di perusahaan asuransi, bukan di tempat bikin SIM/polres Durham)--si petugas asuransi mencatat nama belakang saya sesuai SIM Indonesia saya, yaitu Ak. (gelar akuntan yang saya peroleh dengan susah payah di STAN). Jadilah nama saya: AK, Budi Susila.

Waktu di polres Durham tempat bikin SIM, karena di surat pengantar asuransi nama belakang saya adalah AK tadi, maka di formulir pun tertulis AK. Tentunya saya nggak mau, kan berarti salah. Terus saya berusaha jelasin ke pak polisinya (yang orang item gede banget) di situ, bahwa itu bukanlah nama belakang saya, melainkan gelar akademis, sambil saya tunjukin semua dokumen Indonesia saya: KTP, SIM, kartu nama. Pokoknya saya gak mau tau, kata si item. Kalo mau ganti ya harus si perusahaan asuransinya yang ganti. Walah, padahal kantor asuransi kan jauh dari polres ini. Terpaksa harus nelpon balik ke asuransi, dan njelasin dengan susah payah di telpon (lha wong ngobrol hadap-hadapan saja kadang gak nyambung, apalagi lewat telpon!). Untunglah si asuransi mau ganti, dan menyesuaikan nama tsb. Setelah difax, baru deh si pak polisi membetulkan nama yang tadi sambil ngomong: memang hukumnya begitu, dik!

Habis lulus ujian SIM tertulis lewat komputer (soal 25, maksimal salah 5), maka dilanjutin ujian praktek nyetir keliling-keliling kompleks. Didampingi polwan (yang juga item),saya ya cukup PD aja, kan sudah sering nyetir. Setelah selesai dan kembali ke polres, dengan PD-nya saya nanya: gimana buk, lulus kagak? Dia jawab: kamu liat tadi tanda stop di prapatan? Ya, jawab saya. kenapa? Waktu ada tanda stop tadi, kamu tidak berhenti sempurna, mobil masih bergerak, dan kamu tidak nengok ke kanan dan kiri! Busyet dah! Lha waktu di prapatan tadi kan asli sepi banget, jadi ya mobil masih bergerak. Dan juga saya sekali lirik tau bahwa gak ada mobil atau orang yang lewat. Rupanya saya memang harus berhenti "grek" bener-bener, terus melihat ke kanan dan kiri secara demonstratif, baru terusin jalan! Kok gitu sih, saya nanya. Jawab si polwan: emang gitu dik, hukumnya. Kalau ada tanda stop di prapatan, kamu harus berhenti sempurna, dan tengok kanan kiri. Walah!

Alhasil, saya dinyatakan gagal. Untunglah, kalo gagal ambil SIM, kita gak harus bayar. Pas ujian ulangan di lain hari (hanya ujian praktek, karena yang teori sudah lulus), saya pelototin tuh tanda stop, dan berhenti grek, tengok kanan kiri, dan akhirnya lulus!

Kejadian lain, waktu saya mbayar asuransi buat istri saya. Nah, karena nama istri saya cuman satu kata, saya rada bingung karena setiap formulir mengharuskan menuliskan nama belakang. Tanpa pikir panjang, saya tulis aja nama saya, Budi, sebagai nama belakang istri saya (seperi kebiasaan di Indonesia: misalnya nyonya julie teguh, berarti nama istri julie, nama suami teguh). Nah, rupanya si nama ini terus terbawa, waktu mau melahirkan, nama belakang istri tercatat nama saya. Sampai waktu buat akta kelahiran anak, saya bilang sama petugasnya bahwa nama belakang istri saya itu sebenarnya gak ada dan suruh ngilangin kata "budi". Dia gak mau karena sistemnya memang begitu. Makanya di akte anak saya, istri saya punya nama belakang ya nama saya tadi. Jadi repot deh!

Yang lebih bikin aneh lagi: anak kecil kalo naik mobil gak boleh duduk di depan, harus duduk di belakang pakai seatbelt khusus. Atau kalo anaknya masih kecil di bawah satu tahun, duduknya harus di kursi khusus/carseat yang ditarok di kursi depan dan malah menghadap ke belakang! Aneh, bukan?

Temen saya Ismail yang orang Azarbeijan malah pernah ngomel-ngomel gara-gara didenda $75! Sebabnya: anaknya yang kecil duduk di kursi depan dan gak pake sabuk pengaman! Rupanya Ismail ini seperti orang Indonesia saja yang sukanya naruh anak kecil di depan!

Pernah juga waktu mau ngurus STNK mobil, pas beli harus dimintain stempel (notarized) sama orang kampus. La dia ini kan liat saya tiap hari kuliah di situ. Eh, waktu minta stempelnya, dia masih minta saya nunjukin kartu mahasiswa! Katanya: emang aturannya gitu. Weleh-weleh!

Masalah parkir juga jadi problem juga. Di perpus kampus ada aturan bahwa parkir maksimal 3 jam. Nah, pada suatu hari ada mobil pengunjung parkir yang diderek ke ditlantas sana gara-gara lewat dari 3 jam, padahal pas pada jam ke-3 lebih 5 menit si empunya mobil sudah datang. Eh, pas dia datang, mobil sedang dalam proses diderek. Si pemilik protes. Protes gak berlaku, dan terjadilah si pemilik melihat di depan matanya mobilnya di derek dengan pasrah!

Ada lagi orang berdemo di jalan sambil pawai. Eh, tidak lama kemudian ada beberapa orang pendemo yang ditangkap polisi. Apa pasal? Apa karena demonya merusak toko atau pada bawa senjata tajam? Atau karena isunya sensitif sehingga harus diamankan polisi? Ternyata tidak saudara-saudara! Dua orang tersebut ditangkap gara-gara sepele, yaitu mereka berdemo di badan jalan, bukan di trotoar. Aturan lokal menyatakan bahwa siapapun boleh demo asalkan berjalan di trotoar, bukan di badan jalan.

Opo tumon?

Tidak ada komentar: