13 April, 2008

Terus Terang Terang Terus...

Apa pendapat Anda, bila ada seorang yang baru saja Anda kenal, terus bertanya kepada Anda: Berapa uang yang kau miliki? Anda kaget, malu, marah, atau biasa-biasa saja?

Terus terang saya kaget. Kejadiannya waktu orang dari universitas, Stephanie, mengantar kami untuk belanja pertama kali pagi-pagi sesudahmalamnya nyampai di amrik. Begitu dia nongol, hal pertama yang dibilang adalah: hari ini kita akan belanja segala macam :peralatan dapur, meja kuris, kasur dsb. Uangmu ada berapa?

Walah! Tentu saja saya kaget! Belum-belum ditanya masalah uang! Ya tentu saja saya jawab sejujurnya. Uangku ada segini. Terus, dia bilang: oke deh, kalo segitu ya lumayan cukup untuk membeli perabotan awal. Nanti lainnya nyusul aja!
Seandainya saya menjadi pengantar bule untuk belanja awal keperluannya di Indonesia, tentu akan saya ajak dia muter-muter ke tempat yang kiranya menyediakan barangnya tanpa harus bertanya berapa jumlah uangnya. Biarlah dia yang memilih jenis barang dan harganya, tergantung dia punya bugdet. Bukan begitu caranya? Masak duit orang ditanya-tanya!

Memang 'kebudayaan' terus terang ini mungkin diperlukan dalam situasi orang amrik yang efisien. Kalau saya tidak terus terang berapa jumlah uang yang saya miliki dalam kasus Stephanie di atas, tentu dia akan bingung mau dibawa ke mana saya untuk belanja.

Pada kesempatan lain, waktu itu istri saya sedang sakit dan harus mondok di RS, tentu saja tidak ada yang bisa menjaga anak saya, waktu itu usianya kurang lebih 8 bulan, di apartemen karena saya harus kuliah. Saya mencari informasi ke pihak universitas mengenai tempat penitipan anak (day care). Si orang universitasnya malah nanya: kamu punya uang kan untuk menitipkan anak? Lha ya jelas saya kaget (dan agak tersinggung!). Ya tentu saja saya ada duitnya, kalau nggak ngapain saya cari informasi. Belakangan saya mikir: mungkin mereka niatnya baik, kalau saya gak punya uang, mereka mungkin yang akan mbayari!

Kadang-kadang memang kalau berterus terang, ada untungnya juga. Waktu istri saya sudah sembuh, kan saya harus membayar biaya RS, walaupun sebagian besarnya sudah dibayar oleh asuransi, tapi tetap ada bagian saya 10% dari total bill yang harus dibayar. Jumlahnya kurang lebih $1.000. Waktu itu lagi ngobrol sama Stephanie, dia nanya: kamu punya duit nggak buat mbayar tagihan? Sebenarnya ada sih duitnya, tapi sayang juga kalo buat mbayar taguhan itu. Saya bilang aja begitu. Dia terus nawarin bagaimana kalo kita minta diskon ke RS? Saya ya setuju aja, terus saya minta gimana kalo diskon 50%? Dia setuju lalu pihak universitas bikin 'surat keterangan miskin' buat saya. Eh, pagi suratnya dibikin, sorenya keluar surat tagihan yang sudah terdiskon 50%. Enak juga ya kalo terus terang! menyesal juga saya tidak minta diskon 75% atau 90%!

Peristiwa istri sakit 3 minggu itu terjadi pada waktu saya membuat tesis akhir. Jadi tentu saja saya rada kelimpungan mengurus istri, anak, dan membuat tesis pada waktu bersamaan. Tentu saja tesis yang 'dikorbankan' alias dibuat tidak maksimal. Saya sengaja tidak terus terang sama dosen pembimbing saya itu mengenai sakitnya istri saya takut dibilang banyak alasan. Setelah tesis selesai, saya mendapat nilai yang kurang bagus yaitu B minus. Saya ya nyantai aja, yang penting lulus ini. Eh, waktu ketemu si dosen pembimbing waktu perpisahan, dia bilang: Lo, istrimu sakit ya waktu kamu bikin tesis? Kok gak bilang-bilang? Pantesan nilamu segitu. Kalau kamu bilang mungkin nilainya lain! Saya ya rada nyesel juga!

Bagi orang sini, memang sekali lagi ngomong itu penting. Dan berterus terang lebih banyak bagusnya daripada tidaknya!

Tidak ada komentar: